Asmaul Husna

Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka

Rabu, 03 Februari 2010

assalaamu’alaikum wr. wb.

Buya Hamka adalah salah satu ulama besar Indonesia yang memberi perhatian khusus kepada jiwa. Untuk menyucikan jiwa, ditempuhlah jalan “tasawuf”. Akan tetapi, Hamka mengingatkan bahwa aliran-aliran tasawuf itu pada mulanya bermaksud baik, namun pada akhirnya banyak pula yang tersesat. Maksudnya memerangi hawa nafsu, tetapi kadang-kadang mereka tempuh jalan yang tidak digariskan oleh agama; mulai dari membenci harta yang halal, tidak mau mencari rizki, menjauh dari keramaian dunia, bahkan ada pula yang menyuburkan paham wihdatul wujud di dalamnya.

Dalam pembahasannya tentang jiwa, Hamka pun mendalami perasaan bahagia. Kebahagiaan inilah yang senantiasa dicari orang. Sayangnya, banyak yang tersesat lantaran tidak tahu mesti mencarinya kemana, atau bahkan tidak tahu bahagia itu apa.

Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu letaknya pada harta. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang putus asa dalam kemiskinannya. Hendak menjadi kaya namun selalu gagal. Kadang-kadang pendapatnya tak didengar orang lantaran ia miskin. Karena itu diputuskannyalah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya. Kaidahnya ini berasal dari hati yang kecewa.

Banyak juga yang tidak menemukan kebahagiaan meskipun ia sudah mencapai maksudnya. Contohnya adalah orang miskin yang mengejar kekayaan, sebab dalam bayangannya, jika kaya ia akan mampu menolong sesama. Akan tetapi, setelah kaya ia malah menjadi sombong dan kikir. Ada negarawan yang ketika menjadi anggota parlemen berjanji akan menolak segala kezaliman, namun setelah jadi Presiden atau Perdana Menteri justru ia sendiri yang menzalimi rakyatnya.

Pada dasarnya mereka yang menilai kebahagiaan dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya memiliki harga sesuai kemampuan manusia untuk menghargainya. Buku yang sarat ilmu hanya akan dijual kiloan di pasar loak oleh para penjual yang tak mengerti isinya. Orang yang tak paham bedanya emas dan kuningan akan menjual keduanya dengan harga yang sama.

Manusia juga punya kecenderungan untuk rindu pada sesuatu yang belum ada padanya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan. Contohnya Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Di usianya yang sudah 97 tahun, ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun. Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekedar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat. Sesuatu yang belum kita miliki sering disangka menjanjikan kebahagiaan, namun manusia kerap kali tidak mampu menghargai apa-apa yang sudah dimilikinya.

Pada akhirnya, kebahagiaan yang sejati letaknya di akhirat, yaitu kebahagiaan yang baka, bukan yang fana belaka. Kebahagiaan ini hanya bisa didapatkan di sisi Allah SWT. Di sana hanya ada suka cita, sedangkan duka cita tak lagi dikenali. Semuanya kaya raya, tidak ada yang miskin papa.

Akal manusia berperan sangat penting untuk mengambil hikmah dari segala kejadian, baik yang dialaminya sendiri maupun yang dialami oleh orang lain, demi mencapai kebahagiaan yang dicari-carinya. Berpikir mencari rahasia yang tersembunyi di belakang kenyataan itu adalah fitrah yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia. Akal akan senantiasa dipergunakannya untuk memahami hakikat dirinya sendiri, hakikat hidup dan hakikat Tuhan yang telah menciptakan-Nya. Akan tetapi, manusia takkan dapat mencapainya dengan usahanya sendiri. Akal akan sampai pada batasnya, bahkan segala alat yang dimiliki manusia tidak cukup untuk melampaui batas itu.

Di sinilah letak kasih sayang Allah yang teramat besar, sehingga manusia dibimbing-Nya untuk sampai ke ujung perjalanan intelektualnya. Untuk itu, Allah SWT mengutus para Rasul untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Agama itulah yang memberi nilai bagi hidup, sehingga manusia tidak lagi canggung atau muram menghadapi hidupnya. Jika pegangan tidak ada, maka manusia tak lagi mampu memberikan penilaian kepada hidupnya sendiri.

Pengakuan terhadap kekuasaan Allah itulah pengetahuan hakiki yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Kalau manusia mengingkarinya, maka ia akan menemui kesulitan besar, karena harus menentang fitrahnya sendiri. Mereka yang bersikeras mengingkari Tuhan justru ragu dalam keingkarannya atau ingkar dalam keraguannya. Oleh karena itu, Hamka membenarkan Al-Ghazali yang menyatakan “...bahwasanya dituntut orang ilmu pada mulanya bukan karena Allah. Tetapi ilmu itu sendiri tidak mau, melainkan menuju kepada Allah juga.”

Menurut Hamka, agama mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kedua, yaqin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya.

Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat, sementara dirinya tak ada lagi di sana. Ada juga yang menyangka bahwa kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka tua. Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras.

Dalam ajaran Islam, kematian adalah belas kasihan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. Manusia disuruh pergi ke dunia, dan kemudian dipanggil pulang. Agama menyadarkan kita bahwa kematian itu telah pasti bagi kita, dan karenanya, kita sungguh-sungguh berusaha memperbaiki hidup, agar sesudah hidup itu kita beroleh kematian yang nikmat adanya, yaitu kematian dalam keadaan memperoleh ridha Allah.

Orang seringkali membayangkan apa yang akan dijumpainya sesudah mati. Mereka yang takut mati barangkali sudah menyadari dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, sehingga takut kalau harus di-hisab. Tetapi ada pula orang seperti Bilal bin Rabah ra. yang mengatakan dirinya bahagia di saat menghadapi sakaratul mautnya, lantaran dengan kematian itulah ia bisa berkumpul kembali dengan Rasulullah saw. yang sangat ia cintai.

Hal yang dicari banyak orang demi mendapatkan kebahagiaan, sekaligus juga faktor yang banyak membuat manusia tidak bahagia, adalah harta benda. Pada hakikatnya, orang yang kaya adalah yang paling sedikit keperluannya. Para Raja dan miliuner adalah orang-orang miskin, karena begitu banyaknya kebutuhannya. Di dunia diikat oleh berbagai macam aturan dan keperluan, sedangkan di akhirat akan dibuka perkaranya yang besar-besar.

Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qana’ah, jangan bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan kepada Allah saja. Sebaliknya, jika ingin miskin, ingatlah segala yang teringat, kenanglah segala yang belum ada.

Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah. Jika kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia pemberian Tuhan, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Manusia tidak dilarang menambah harta, namun bukan karena merasa serba tidak cukup, melainkan karena hidup itu memang dilarang menganggur dan mengemis.

Umat Islam harus mencari kebahagiaan hidup dengan mencontoh kehidupan Rasulullah saw. Beliau hidup dengan penuh kepercayaan bahwa Allah tidak membuat satu ketentuan tanpa pertimbangan yang seadil-adilnya. Beliau menerima ketetapan Allah apa adanya, tak mengaduh, tak merintih dan tak menyesal, apalagi merengek. Rasulullah saw. tidak mencela apa yang ada di hadapannya, tidak pula menyesali apa-apa yang tidak didapatkannya. Apa pun yang Allah perintahkan ia kerjakan, dan apa pun yang Allah berikan ia terima dengan lapang dada. Demikianlah, menurut Hamka, derajat tasawuf yang sejati.


Artikel ini dimuat dengan judul Bahagia Menurut Hamka di surat kabar Republika edisi Kamis, 10 September 2009. Yang dilampirkan di sini adalah versi sebelum diedit.

0 komentar:

Posting Komentar